"Kita mempertimbangkan cara menjalani hidup yang terbaik. Pertanyaan apa yang lebih serius daripada ini, bagi seseorang yang berakal sehat?" -Socrates
Victory. Defeat. Kita lebih sering mengalami yang disebutkan terakhir, kurasa? Ataukah hanya diriku saja?
Tidak, tidak. Bukan berarti ketika kita sedang matchmaking atau nge-turtle sambil memikirkan penciptaan alam semesta atau jiwa dalam perspektif Plato atau Al-Kindi. Yah, itu memang benar, tapi cobalah langsung menuju cermin. Bola mata yang berputar-putar dan dahi yang semakin mengernyit.
Lantas, bagaimana?
Bagaimana. Ya. Ketika kau berpikit tentang "bagaimana", maka kau sedang berfilsafat. Dan, filsafat juga menyentuh aspek etika. Hati pun diketuk olehnya. Ambil contoh, bagaimana respon yang seharusnya kau lakukan ketika sedang late game dan dihadapkan pada dua pilihan: Memenuhi komando ibumu untuk isi ulang galon dan beli elpiji atau tetap meneruskan permainan?
Baiklah.
Kuharap kalian mengikutinya. Jika tidak, aku memaksa kalian untuk mengikutinya. Habisnya, sudah lama sekali aku tidak menulis corat-coretan di pintu kulkas lagi, kan?
Filsafat adalah cinta kebijaksanaan. Alih-alih mengetahui apa makna kehidupan, filsafat sejatinya lebih menekankan bagaimana menjalani kehidupan yang bermakna.
Mari kita beranjak ke Land of Dawn.
Matchmaking, aman. Pemilihan hero, oke. Jika Cecilion terlepas dan kau disuruh untuk memakainya, jangan kau gunakan. Gunakan hero favoritmu, Faramis Kagura misalnya.
Permainan dimulai. Aku bermain dengan buruk. Jarang roaming. Tidak ikut war. Kill: 0, Mati: 5, Asis: 1. Sebuah statistik yang membuat siapapun yang melihatnya berhasrat untuk menggaruk ginjalnya. T-tapi jangan menumpahkan semua kesalahan padaku semata! Lagipula, skor sementara adalah 3-17. Aku tak perlu memberitahu kalian skor timku.
Untungnya rekan setimku tidak mencoba menggaruk ginjal mereka, tapi menghujaniku dengan- aku menyebutnya "Makian Kasih Sayang".
"Anak Y4tim". "T*l*l". "Beg****". "Beban." "4nj*ng". "Uninstall aja dek habisini." "Tutor dek." "Bantu report." "Maen epep aja dek." Dan lain sebagainya.
Tentu aku naik pitam dan ingin menggaruk ginjal juga. Bagaimana aku harus meresponnya? Jari jemariku hanya berjarak beberapa milimeter dengan keyboard, apa yang harus dilakukan? Tolong aku!
Tiba-tiba seorang pria berjanggut dengan pakaian ala Yunani, tapi dia adalah seorang Kaisar Romawi berbisik kepadaku, "Tidak ada sesuatu pun yang berlangsung di dalam benak orang lain bisa menyakitimu." Betul juga. Untuk apa menghiraukan isi pikiran orang yang sepenuhnya terjadi di dalam benak mereka, bukan benakku?
Aku juga mendengar bisikan lain, sepertinya juga berasal dari seorang Roma, "Untuk bisa benar-benar menyakitimu, kamu harus percaya bahwa kamu sedang disakiti."
Belum cukup sampai disitu, ada seseorang berkacamata yang menepuk pundakku, kelihatannya berasal dari anak benua Asia, dia berkata, "Tidak ada yang bisa menyakiti dirimu tanpa izinmu."
Jariku kembali fokus ke analog. Aku urung menulis balasan untuk "Makian Kasih Sayang" mereka diatas. Akal pikiranku bangkit kembali setelah sejenak tersungkur.
Kusampaikan rasa terima kasihku pada Marcus Aurelius, Epictetus, dan Mahatma Gandhi atas wejangan-wejangannya.
Di pertandingan lain, situasi gelap juga menyelimutiku.
Kali ini timku benar-benar ganas. Aku merasa musuh sebentar lagi surrender. Dan, hasilnya? Tentu saja aku menang (gung kekalahan). Semuanya berjalan dengan lancar, timku mendominasi, dan, hanya butuh sekali lord lagi untuk benar-benar memenangi pertandingan. Tapi, ada satu hal yang aku luput darinya. Sang Roamer, Franco (aku menggunakan nama heronya saja) begitu jumawa dengan situasi pertandingan. Recall-recall, memancing-mancing musuh dengan perkataan yang meremehkan, sampai-sampai build yang dia gunakan adalah build damage (saking meremehkan musuh)!
Hanya butuh 2 menit untuk keadaan berbalik. Firasatku memang sudah buruk. Dan, benar saja, epic comeback.
"Gimana sih! Makanya jangan sombong jadi orang! GG Franco. Nice!" Aku langsung naik pitam. Tentu ini bohong.
Aku mengalami kekalahan, aku merasa kesal. Ya, aku juga manusia. Ini bukan emosi, tapi refleks, seperti pipi merah karena malu. Refleks menjadi emosi ketika kau "setuju" kepadanya. Karena saat menyetujuinya, refleks naik menjadi gairah.
Itu terjadi dengan cepat, tapi tidak satupun terjadi tanpa seizinku.
Aku harus memutus mata rantai antara impresi dan persetujuan. Ini disebut Jeda Socrates (Eric Weiner menyebutnya Jeda Perkasa). Ketika kita sadar bahwa reaksi kita terhadap kesusahan bukan otomatis, tapi suatu pilihan, kita mulai bisa membuat pilihan-pilihan yang lebih baik.
Tapi, bukankah semua orang pasti kecewa ketika kalah? Ya, bukan berarti semua orang ketika kalah, aku juga harus ikut kecewa. Kita bebas untuk menahan persetujuan kita. Sepenuhnya terserah pada kita.
Tapi, kalau aku harus atau tetap menyetujui praemosi ini, beri ia label yang baru, atau arah yang berbeda. Misal, jika kau mengalami kekalahan, ubah labelnya menjadi "mengalami perenungan", atau "mengalami kemenangan yang tertunda". Ini sebuah tipuan pikiran yang baik.
Ubah apa yang bisa kau ubah, terima apa yang tak bisa kau ubah. Begitulah salah satu pemikiran dari mazhab Stoisisme. Beberapa hal dapat kita kendalikan, beberapa hal lagi tidak.
Aku mengurungkan niat untuk mencemooh Franco habis-habisan. Apakah setelah aku melakukannya, ia akan berubah? Sepertinya tidak. Ada cara lain, biarkan saja ia merenungkan sikapnya sendiri. Itu lebih baik. Biarkan ia berbicara pada dirinya sendiri, seperti Marcus Aurelius yang berbicara kepada dirinya sendiri di dalam bukunya, Meditations (Jika kau membaca bukunya, sama saja artinya kau sedang mengupingnya).
Jangan dibawa risau jika kalah. Lagipula, pihak developer tidak akan berbuat kejam sampai membuatmu mengalami lose streak hingga 20 kali berturut-turut, kan? Ingatlah pesan Gol D. Roger, "Setiap orang punya gilirannya masing-masing. Bersabarlah dan tunggulah! Dia akan datang secara alami. Yang kumaksud adalah giliranmu!" Yah, kau pasti paham betul bahwa roda harus terus berputar.
Dan, itu hanya game, kan?
Tentu saja.
Aku memang menang kalah (aku juga butuh waktu untuk menerima ini, tuan dan nyonya sekalian!), tapi aku membawa oleh-oleh.
Bahkan Land of Dawn pun menciptakan suasana yang mendukung orang-orang yang memasukinya untuk berfilsafat.
Daftar Pustaka:
1. Epiktetos. How to be Free: Sebuah Panduan Klasik Hidup Stoik. Jakarta: KPG, 2021.
2. Weiner, Eric. The Socrates Express. Qanita: Bandung, 2020.
Komentar
Posting Komentar